A.
Pendahuluan
Tuntutan
terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin
ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi dari arus globalisasi dalam
pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan asing
membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu, persaingan antar lembaga penyelenggara
pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat. Mengantisipasi
perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks,
tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan segala cara untuk
meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik dan layanan lainnya, yang
antaralain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Menghadapi
pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak perlu menyamakan
pemikiran dan sikap untuk mengedepankan dalam
peningkatan mutu pendidikan. Pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab/berperan serta dalam meningkatkan mutu pendidikan yaitu pemerintah,
masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang
pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun
meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas,
dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab guru
menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan.
Namun
tidak dapat dimungkiri bahwa, pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang
paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata
rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa
depan pendidikan di sekolah yang lebih baik. Pandangan di atas,
rasanya tidak mudah untuk menjadi guru dewasa ini, sebab guru menjadi fokus
utama dari kritik-kritik permasalahan pendidikan di Indonesia. Menjadi guru
merupakan profesi yang penuh dengan tantangan. Guru berhadapan dengan tuntutan
kualitas profesi, amanah dari orang, masyarakat, stakeholder,pemerintah dan
karena guru tetap dianggap memiliki akuntabilatas atas keberhasilan pembalajan
akademis siswa. Guru juga berhadapan dengan tuntutan perubahan yang begitu
cepat, seperti informasi yang begitu mudah diakses melalui internet yang sudah
berang tentu akan mengubah aspek-aspek pendidikan konpensional yang selama ini
ditekuni. Hal ini, tentu saja akan memaksa para guru untuk mengubah model dan
metode belajar–mengajar yang selama ini ditekuni serta materi dan jenis
tugas-tugas yang diberikan kepada murid.
Permasalahan
guru di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
masalah mutu profesionalisme guru yang
masih belum memadai dan jelas,
hal ini ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional kita
yang rendah, menurut beberapa pakar pendidikan, salah satu faktor penyebabnya
adalah rendahnya mutu guru itu sendiri di samping faktor-faktor yang lain.
Maka, sebenarnya permasalahan guru di Indonesia harus diselesaikan secara
komprehensif, yaitu menyangkut semua aspek yang terkait berupa kesejahteraan,
kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya. Tetapi, setiap
kali membedah mutu pembelajaran, guru selalu dijadikan
kambing hitam. Terlebih dengan mutu pendidikan Indonesia yang terus
terpuruk dibanding negara tetangga” (Kompas, 10 Maret 2004).
Sumber
permasalahan pendidikan di Indonesia, sebenarnya bukan hanya pada persoalan
guru saja, tetapi persoalan perhatian pemerintah dan masyarakat, dana,
kurikulum, metologi, manajemen, pimpinan sekolah yang memiliki kemampuan
profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Rendahnya kualitas
tenaga kependidikan, merupakan masalaah pokok yang dihadapi pendidikan di
Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan
di atas penulis anggap penting untuk dikaji kembali, khususnya dalam upaya
peningkatan kompetensi prosesionalisme guru sekolah dasar dan mutu pendidikan
di era otonomi daerah, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
peningkatan kinerja guru serta peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
B.
Program Peningkatan Mutu Guru
Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar
terus menurut untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik dalam hal ini guru
yang merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu diperhatikan. Dengan kata
lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi
para guru jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan, karena apabila gagal
dalam investasi guru akan berakibat patal (Hujair, 2003:227) dalam persaingan
merebut animo pengguna pendidikan sebagai pengakuan terhadap kualitan lembaga
pendidikan tersebut.
Sebagai contoh, indikator pengakuan terhadap kualitas dan
kemampuan guru, bukan hanya datang dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga
dari jenjang karir fungsional seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan
guru besar yang rigid,
tetapi reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih
banyak diperoleh dari pengakuan dan penghargaan yang diberikan langsung oleh
masyarakat, karena kemampuan akademik dan profesionalisme guru itu sendiri.
Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat
profesional yang
memiliki kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetsni
guru.
Tuntutan profesionalisme guru tentu harus terkait dan
dibangun melelui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam
menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru.
Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang
substansi atau bidang studi (kurikulum), kompetensi bidang pembelajaran (menguasai
materi pelajaran), teknik dan metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan
nilai dan bimbingan. Kompetensi
sosial, yaitu
kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, mampu menyelesaikan masalah,
pengabdian pada masyarakat. Kompetensi
personal, yaitu
kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, komitmen
pada tugas, berdisiplin tinggi, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik,
mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap
orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat.
C.
Etos
Kerja dan
Oreintasi
Perkembangan Profesionalisme
Guru
Profesi diukur berdasarkan kepentingan
dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita
mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semiprofesi,
terampil, tidak terampil, dan quasi profesi. Gilley dan Eggland (1989)
mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusiaberdasarkan pengetahuan,
dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi
ini meliputi aspek yaitu : a.
Ilmu pengetahuan tertentu b.
Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan c.
Berkaitan dengan kepentingan umum aspek-aspek
yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru.
Proses profesional adalah proses evolusi
yang menggunakan pendekatan organisasidan sistemastis untuk mengembangkan
profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara
teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat
prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi
karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.1. Orientasi Filosofi Ada tiga
pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama
lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi.
Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan
aturan-aturan formal. Pendekatan kedua
yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu,
yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan
aturan yang bersifat pribadi. Dalam hal ini
yang terpenting
bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi
penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang
menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim,
dan pemikiran akademis.
Proses profesionalisasi dianggap
merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu.
Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari
pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang
diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya. (Seminar Nasional
Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Otonomi
Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005).
Orientasi perkembangan menekankan pada
enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu: a) Dimulai dari adanya
asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi. b) Identifikasi dan adopsi
pengetahuan tertentu. c) Para
praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga. d) Penyepakatan adanya
persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu. e) Penetuan kode etik. f) Revisi persyaratan
berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di
lapangan.
Orientasi karakteristik profesionalisasi juga
dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik
pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait: a) Kode etik b) Pengetahuan yang
terorganisir c)
Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus d) Tingkat pendidikan minimal yang
dipersyaratkan e)
Sertifikat keahlian f)
Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung
jawab g) Kesempatan untuk
penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi h) Adanya tindakan
disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi.
Orientasi Non-Tradisional Perspektif
pendekatan yang keempat yaitu
prespektif non-tradisonal yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu
tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan
kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi
elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya
sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji
kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Tentu saja, pekerjaan guru tidak
diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran.
Namun, hingga kini pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran ini
masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi
guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan. Profesionalisme
guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsisebagai norma hukum
dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti
PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya gurukarena alasan
struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu. Profesionalisme guru
harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harusdikuasai oleh para guru
profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuanatau keahlian yang
bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang
perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional.
Menurut Surya (2003) guru yang
profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan
ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas
pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi
profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi
dengan sesama guru. Disinilah peran Perguruan Tinggi Pendidikan dan
organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting. Kerjasama antar keduanya menjadi sangat
diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yangprofesional tidak dapat
berjalan sendiri, kecuali selain harus bekerjasama denganlembaga profesi guru,
dan sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan
profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya
organisasi profesi guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat
terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik
dan pengembangan profesi masing-masing. Orientasi mutu, profesionalisme dan
menjunjung tinggi profesi harus mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka,
kode etik profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan
organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi
agar dapat mengawal profesi guru tersebut.
D.
Tantangan
Profesi Guru
1.
Perkembangan Teknologi Informasi
Perkembangan
Teknologi Informasi Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya
revolusi teknologiinformasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu
dipecahkan secara mendesak.Adanya perkembangan teknologi informasi yang
demikian akan mengubah pola hubunganguru-murid, teknologi instruksional dan
sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuanguru dituntut untuk menyesuaikan
hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapatdimanfaatkan oleh bidang
pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknyajustru menjadi
penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika
yangdilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para
praktisipendidikan di lapangan.
Perkembangan
teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranansekolah sebagai lembaga
pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadisatu-satunya
pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang
danwaktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena
banyaksumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang
untuk belajar. Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan
mereformasi sistempendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan
untuk mampu belajar sendiri, mencipta,
dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitas lingkungannya
(keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan
nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi
masa depan.
Orientasi
pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu
sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya,tapi juga
matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yangakan
datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak
perlu lagimenyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi
bangunan-bangunan besar,tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus
bekerja sama secara komplementer
dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi sekolah maya.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan
sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus
sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada
sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat
tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan
kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan
lain-lain.
Teknologi
informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan
sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di
sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan
melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara
individu. (Karsidi, 2004) Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan
digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi
informasi untuk menunjang peran profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan
seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan
oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan
teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka
perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung
terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan
untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi
informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita
belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik
bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih
jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu
pendidikan. Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam
pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta
bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
2.
Otonomi
Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Paradigma
pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik.
Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai
perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara
sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa
salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian
rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat
untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan
berpartisipasi masyarakatdalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan
pendidikan) harus ditumbuhkan dan
ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya. Bergesernya paradigma pembangunan
yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang
penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.
Pembangunan
harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakatitu sendiri dan bukan
semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia
ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi
dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannyadalam arti yang
lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian
mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan
danperanserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat
justru akan terpinggirkan
dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian
dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam eraglobalisasi. Peran serta masyarakat harus
lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol
rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agendapengambilan
keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan
urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya.
(Karsidi,
2004) Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke
daerah, untuk
mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut
menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat
dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan
partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat
lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina
kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi
pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan
kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional),
sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah
didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Kurikulum
dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan
secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok,yaitu: (1)
Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional,
Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan,
berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal konten setiap bidang
studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis
yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan. Program-program
pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya,
kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu
sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudahmulai diberikan ruang
partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian puladi
lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar
tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu padalembaga pendidikan
itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggaranegara. Cara
untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi
masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu
berada.
Kondisi
ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk
mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bias menampung sumbangan
partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan
kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki
kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebagai
contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah.Mereka
tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan
alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan
mengkritiknya jika terdapat output
yang tidak baik.
Partisipasi
dunia usaha/industriterhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab
untuk menghasilkan output yang
baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain,
termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu
lembaga pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan
komponen-komponen lainnya di masyarakat.
E.
PENUTUP
Dalam
rangka mencapai mutu yang tinggi dalam bidang pendidikan, peranan gurus angatlah penting bahkan
sangat utama. Untuk itu, maka profesionalisme guru harus ditegakkan dengan cara
pemenuhan syarat-syarat kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap guru, baik di bidang
penguasaan keahlian materi keilmuan maupun metodologi. Guru harus bertanggungjawab atas
tugas-tugasnya dan harus mengembangkan kesejawatan dengan sesama guru melalui
keikutsertaan dan pengembangan organisasi profesi guru. Untuk mencapai kondisi
guru yang profesional, para guru harus menjadikan orientasi mutu dan
profesionalisme guru sebagai etos kerja mereka dan menjadikannya sebagai landasan orientasi
berperilaku dalam tugas-tugas profesinya. Karenanya, maka kode etikprofesi guru
harus dijunjung tinggi.
Dalam
perkembangannya, disadari bahwa profesi guru belum dalam posisi yang ideal seperti yang
diharapkan, namun harus terus diperjuangkan menuju yang terbaik. Pada saat diberlakukannya otonomi
daerah dan desentralisasi pendidikan yang bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat, dipahami bahwa banyak tantangan sekaligus
peluang yang harus dihadapi untuk dapat diselesaikan oleh para guru dan lembaga
penyelenggara pendidikan. Tantangan dan peluang tersebut antara lain: berubahnya peran guru
dalam manajemen proses belajar mengajar, kurikulum yang terdesentralisasi,
pemanfaatan secara optimal sumber-sumber belajar lain dan teknologi informasi, usaha
pencapaian layanan mutu pendidikan yang optimal, dan penegakan profesionalisme guru.
Para
guru mempunyai tantangan untuk dapat beradaptasi dengan sebaik-baiknya dalam
situasi transisi, agar dapat memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak
positifnya. Menyikapi hal-hal demikian, tidak lain maka para guruharuslah dapat
mengembangkan suatu perilaku adaptif agar berhasil mengemban profesinya di era otonomi daerah
dan era global ini. Dengan cara demikian, karena guru adalah “sokoguru”
pendidikan, mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan di era otonomi daerah segera akan tercapai.
Daftar Pustaka
Gilley,
Jerry W. dan Steven A. Eggland, 1989. Principles
of Human Resourches Development. New York: Addison Wesley Pub. Company.
Inc.
Hujair AH. Sanaky. 2003. Paradigma Pendidikan
Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Press dan MSI.
Jalal,
Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). 2001. Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta.
Karsidi,
Ravik. 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam
Pendidikan, Bahan Ceramah di Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.-----, 2004.
Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Pendidikan pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Kompas, Rencana
Badan Independen Sertifikasi Guru, From:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0411/24/humaniora/1398342.htm., akses,
17/11/2004.
Seminar
Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru
dan Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005.
1
Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang:
Aneka Ilmu.
Wen,
Sayling. 2003. Future of Education (Masa
Depan Pendidikan), alih bahasa Arvin Saputra. Batam:
Lucky Publisher.
http://www.infodiknas.com/upaya-peningkatan
profesionalisme-guru-di-Indonesia.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar